-->

Peran Sistem Peradilan Pidana Dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia

Publish: Kuda an ----

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya, -dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain. 

Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada ketidakseimbangan. 

Dan pertanggung jawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”. 

Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum. Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh kehidupan sosial dan agama. Kalau ada orang yang melanggar pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan kegiatan anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja yang dapat dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana, karena merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dari kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.

Penegakan hukum, terutama di pengadilan merupakan tempat berlangsungnya proses peradilan, sedangkan kewenangan mengadakan pengadilan itu sendiri berada ditangan lembaga kehakiman. Hal ini tercantum dalam Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas pengadilan adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. 

Tugas ini meliputi pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung. Selain itu pengadilan berkewajiban pula untuk mewujudkan membantu pencari keadilan serta berkewajiban untuk mewujudkan suatu peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sesuai dengan asas peradilan yang ditetapkan oleh KUHAP. 

Kemandirian kekuasaan kehakiman (selanjutnya disebut dengan independensi kekuasaan kehakiman) merupakan ciri khas daripada negara hukum. Betapa pentingnya kebebasan peradilan ini tampak pula dari Declaration of Delhi tanggal 10 Januari yang menetapkan antara lain: … an independent judiciary and legal profession are essential to the maintenance of the Rule of Law and to proper adminiatration of justice”.

Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa : “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”. Pasal ini kemudian didelegasikan dalam UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa : “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Amanat ini adalah sebagai pelaksana dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, setelah amandemen ketiga yang berbunyi :

 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Karena salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstrayudisial untuk menyelenggaraan peradilan guna menegakan ketertiban, keadilan, kebenaran dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.

Kata merdeka mengandung pengertian bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Kata merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. Apabila kata bebas tersebut disifatkan kepada hakim, maka akan berbunyi kebebasan hakim dimana dalam menjalankan tugasnya hakim tidak boleh terikat dengan apapun dan/atau tertekan oleh siapapun, tetapi leluasa untuk berbuat apapun.

Struktur dari kekuasaan kehakiman di Indonesia tampak dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam artian memiliki kemandirian yang pada hakikatnya merupakan syarat dan jaminan untuk mencapai terwujudnya peradilan yang tidak berpihak (judicial impartiality). Peradilan yang tidak berpihak pengertiannya mencangkup baik terhadap putusan-putusan atau proses pemutusan perkara oleh para hakimnya (kemandirian individual) maupun kelembagaan badan peradilan itu sendiri (kemandirian konstitusonal) dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan administratif dengan kelembagaan-kelembagaan negara lainnya dalam pemerintahan.

Pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak hanya dilekatkan pada peradilan tetapi juga pada kejaksaan sebagai kekuasaan menuntut dan kepolisian sebagai kekuasaan penyidikan dan penyelidikan, sehingga keduanya pun menjadi kekauasaan yang merdeka dari pengaruh kekuasaan lainnya.

Independensi kekuasaan penuntutan Kejaksaan tidak pernah disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun pengertian Kejaksaan dan Jaksa Agung sudah termasuk dalam ruang lingkup ”kekuasaan kehakiman.” Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa, ”Kekuasaan Kehakiman (Rechtelijke Macht) dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman;” bukan lain-lain badan pengadilan.

Kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan adalah merupakan penuntut umum dalam perkara pidana yang mewakili Negara dan masyarakat, maupun sebagai Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata dan tata usaha Negara. Keberadaan Kejaksaan adalah menempati posisi sentral dan fungsinya yang strategis dalam proses penegakan hukum, di mana Kejaksaan diharapkan mandiri dan independen serta mempunyai aparatur yang profesional sebagai pelaksana kekuasaan Negara di bidang penegakan hukum secara proporsional. Peranan Kejaksaan dalam penyelenggaraan peradilan pidana ini, termuat dalam (United Nations Guidelines on the Role of the Prosecutors pada tahun 1990. “Pedoman (Perserikatan Bangsa-Bangsa) Tentang Para Jaksa”.

Kedudukan dan peran lembaga Kejaksaan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU. Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI., ditemukan suatu ambivalensi antara kedudukan kelembagaan (yaitu Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan/eksekutif (sebagai unsur pemerintah/ pembantu presiden) dengan tugas pokok fungsi dan wewenang di bidang penuntutan yang masuk dalam yudikatif.

Doktrin dominus litis  telah diakui secara universal dan tercermin di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa “Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara independent.” Sejalan dengan prinsip bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan (een en ondeelbaar), maka tidak ada suatu lembaga pemerintah manapun yang dapat melakukan tugas penuntutan tersebut untuk dan atas nama negara;

Demikian halnya berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa Penuntut Umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Hal ini berarti kewenangan penuntutan yang dimaksud dan diatur oleh UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No. 16 Tahun 2004 dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Independensi kepolisian sebagai penyidikDilihat   dari   kelembagaannya,   posisi   Polri   lebih   baik   apabila dibandingkan dengan Kejaksaan Agung. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.   2   Tahun   2002   Tentang   Kepolisian   Negara Republik Indonesia (Undang-Undang  Kepolisian) menentukan: “Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara  keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan  hukum,  serta  perlindungan,  pengayoman,  dan  pelayanan kepada   masyarakat   dalam   rangka   terpeliharanya   keamanan   dalam negeri”

Sebagai “alat negara”, sekalipun bukan “kekuasaan negara”, tentu  Polri tidak  dapat  dipandang  sebagai  bagian “kekuasaan  eksekutif”.  Hal  ini ditandai  juga  oleh  adanya  kontrol  secara  negatif,   Dewan  Perwakilan Rakyat  (DPR)  terhadap  Presiden  dalam  bentuk  “persetujuan”  ketika memilih  (mengangkatdan  memberhentikan)  Kepala  Kepolisian  Republik Indonesia  (Kapolri),  sebagaimana  ditentukan  dalam  Pasal  11  ayat  (1)Undang-Undang   Kepolisian.Konsekuensi   logis   dari   hal   ini   adalah pergantian  Kapolri  tidak  mengikuti  pergantian  kabinet,  yang  berbeda dengan  Jaksa  Agung  yang  selalu  dipandang  sebagai  pejabat  negara setingkat menteri.

Namun   demikian, dalam konteks penegakan   hukum   pada dasarnya Polri subordinated dari Kejaksaan. Hal ini jangan dilihat sebagai sesuatu  yang  negatif.  Mengingat bukan  hanya  dalam  hal  “penegakan hukum”  dalam  “penegakan  keadilan”  melalui  pelaksanaan kekuasaan kehakiman  yang  kemerdekaannya dijamin bukan  saja  dengan  hukum nasional   tetapi   juga   instrumen   hukum   internasional,   tetap   dikatakan subordinated dari pembentuk undang-undang.

Uraian diatas ingin menjelaskan bahwa independensi kekuasaan kehakiman tidak hanya terletak pada hakim-hakim di pengadilan yang memang merupakan kekuasaan yudikatif, tetapi juga berdasar konstitusi kekuasaan kehakiman meliputi badan-badan lain dalam pemerintahan fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan. Oleh karena itu sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, kepolisian dalam konteks sebagai penyidik dan penyelidik dan kejaksaan dalam konteks sebagai penuntut umum mempunyai kemandirian dalam arti kebebasan dari intervensi kekuasaan apapun tetunya termasuk eksekutif. 


Masukan Ahli

Pasal 183 KUHAP mengkualifikasi keterangan ahli sebagai alat bukti yang dapat melengkapi dan mendukung penyidik dalam menetapkan seorang sebagai tersangka atau mendukung penuntut umum untuk menuntut terdakwa di pengadilan. Artinya keterangan ahli didapatkan atau diperoleh pada tahap penyidikan sebuah perkara pidana, bahkan seorang ahli wajib disumpah dalam menerangkan keahliannya. Hal ini berarti juga bahwa tempatnya “keterangan ahli” ada pada proses penyidikan setelah ditemukannya suatu peristiwa pidana pada tahap penyelidikan. Karena itu sangat tidak mungkin keterangan ahli menjadi rujukan dimulainya sebuah penyidikan perkara pidana. 

Apakah PPPH bisa menerima rekomendasi dari tim eksekutif

Ada 4 moda lahirnya sebuah perkara pidana yaitu: pengaduan, laporan,  tertangkap tangan dan pengembangan informasi dari sebuah perkara. Jika tidak melalui 4 pintu itu, rekomendasi dari sebuah tim apalagi kemudian menyebutkan dirinya sebagai sebuah tim ahli dari eksekutif, maka selain dapat dikualifisir sebagai intervensi juga pada gilirannya akan mengganggu kebebasan kekuasaan kehakiman.

Apalagi rekomendasi itu datang dari sebuah Tim yang dibentuk oleh Kementrian Koordinator yang fungsi pokoknya adalah mengkoordinasikan saja, kementrian ini sama sekali tidak mempunyai kewenangan operasional atau eksekusi, karena kedudukan rekomendasinya bisa berubah menjadi intervensi yang mempengaruhi kebebasan penyelidik dan penyidik.


Apakah tidak mencederai indperndensi?

Criminal Justice system yakni Penanggulan Sistem Pidana ini merupakan satu bagian dari kekuasaan kehakiman dalam konteks kekuasaan satu negara, selain kekuasaan pemerintahan (eksekutif), dan kekuasaan legislative. Sebagai sebuah kekuasaan kehakiman sebagaimana juga disebutkan dalam konstitusi dan Undang-Undang, 

Kekuasaan Kehakiman memiliki kemandirian tersendiri.  Dia disebut sebagai kekuasaan yang merdeka, bebas dari intervensi kekuasaan-kekuasaan yang lain. Jika di dalam Literasi atau praktik sehari-hari seolah-olah hanya Pengadilan yang bersifat independen, namun sesungguhnya tidak begitu. Seluruh komponen kekuasaan kehakiman harus diletakkan dalam satu institusi yang mandiri dan bebas, termasuk di dalamnya kejaksaan dan kepolisian, sebagai penyidik maupun sebagai penyelidik.  

Tim Asistensi ini terdiri atas para petinggi negara, sekaligus diantaranya adalah Pimpinan Kepolisian dan Kejaksaan. Secara langsung Pengadilan dalam hal ini mungkin tidak akan berpengaruh secara signifikan terkait dengan independensinya, mengingat tim ini juga tidak terdiri atas Ketua Mahkamah Agung. Tapi bagi 2 unsur lembaga kekuasaan kehakiman lainnya yakni kepolisian dan kejaksaan, tentunya hal ini sangat berpengaruh terhadap independensinya. Karena perlu diketahui bahwa Peradilan Sesat muncul sejak awal jika proses penyelidikan bahkan penyidikannya sudah sesat.

Disusun Oleh : Yahya, S.H (Universitas Islam Indragiri) Tembilahan 

Share:
Komentar

Berita Terkini